Kawal Rencana Aksi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di NTB, FIP2B Gelar Monitoring dan Evaluasi

Pada tahun 2019, Ikan kakap memiliki nilai ekspor mencapai 8 USD sedangkan untuk ikan kerapu mencapai 26 USD. Selain itu kakap-kerapu juga menjadi salah satu komoditas MSC sehingga perlu pengaturan permintaan pasar, khususnya terhadap ukuran yang layak tangkap. Akan tetapi permintaan pasar terhadap ikan kakap-kerapu yang berukuran tidak layak tangkap masih tinggi. Hal inilah yang menyebabkan nelayan tetap melakukan penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ukuran tangkap yang telah ditentukan. Kompleksitas permasalahan yang terjadi dalam melakukan pengelolaan perikanan menjadi tanggung jawab semua pihak dalam mengentaskan masalah tersebut.

Komitmen FIP2B untuk mendukung pengelolaan perikanan berkelanjutan di Provinsi Nusa Tenggara Barat terus dibuktikan. Pada hari Rabu, 15 Februari 2023 bertempat di Hotel Santika Mataram, Nusa Tenggara Barat, FIP2B telah menggelar pertemuan tahunan dengan tema “Monitoring dan Evaluasi Rencana Aksi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Provinsi Nusa Tenggara Barat”.

Kegiatan tersebut dihadiri oleh beberapa stakeholder seperti Direktorat Pengelolaan Sumber Daya Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan (PSDIKKP), Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Barat (Dislutkan NTB), BPSPL Denpasar, BRIN, DKP Kabupaten yang ada di NTB, NGO yang berfokus pada kegiatan perikanan serta Kelompok Nelayan Kakap-Kerapu di NTB.

Kegiatan ini dilakukan untuk mendapatkan masukan dari semua pihak tentang pengelolaan perikanan kakap-kerapu di NTB. “Hasil kajian tentang perikanan kakap-kerpapu di NTB diharapkan tidak hanya berputar disekitar akademisi saja, tetapi diharapkan dapat dipublikasikan secara sederhana agar semua pihak tahu perkembangan stok ikan kakap-kerapu di NTB”, ucap Kepala Dislutkan NTB, Muslim, S.T., M.Si pada sambutannya.

Sambutan dan Arahan Kepala Dislutkan NTB didampingi oleh Ketua FIP2B dan Ketua Komite P2K2B

Pada kesempatan tersebut, ada beberapa pemateri yang menyampaikan tentang kondisi sumber daya ikan kakap-kerapu di Nusa Tenggara Barat. Perwakilan dari FIP2B-NTB Dr. Soraya Gigentika, S.Pi., M.Si dalam paparannya menyampaikan bahwa panjang ikan kakap-kerapu yang tertangkap di NTB rata-rata terjadi penurunan. Di Teluk Saleh terdapat 1 (satu) spesies ikan kerapu yang mengalami over-exploited yaitu Kerapu Tutul atau Ephinehelus coioides. Di Perairan Cempi, Sape, dan Waworada terdapat 4 (empat) spesies ikan kakap dan kerapu mengalami over-exploited. Sedangkan di Perairan Selat Alas masih dalam kondisi fully-exploited

Pemaparan Materi oleh Ketua FIP2B NTB Dr. Soraya Gigentika, S.Pi., M.Si

“Spesies yang telah mengalami over-exploited perlu dijadikan prioritas pengelolaan untuk perbaikan kondisi stok”, ujar Soraya dalam pemaparannya. Soraya juga menambahkan, untuk memulihkan stok ikan yang telah over-exploited diperlukan implementasi PERGUB yang berkaitan dengan penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan, meningkatkan peran aktif pokmaswas, serta membuat aturan lokal ditingkat desa.

Intan Destianis Hartati dari Rekam Foundation menyampaikan tentang Program perbaikan perikanan di Teluk Saleh. Upaya perbaikan perikanan ini dilakukan untuk mendapatkan Sertifikat MSC. MSC merupakan salah satu lembaga yang menjamin Sustainable Seafood. Menurut Intan, MSC berupaya meyakinkan pasar dan konsumen dengan label biru MSC, yang memastikan praktik penangkapan memenuhi standar berkelanjutan. “Prinsip Standar Perikanan MSC adalah stok ikan target yang berkelanjutan, dampak lingkungan dari penangkapan ikan, dan pengelolaan yang efektif”, disampaikan oleh Intan pada presentasinya. Perbaikan perikanan di Teluk Saleh tidak hanya untuk menjaga sumber daya ikan yang tetap lestari, tetapi juga membantu dalam membuka pasar yang lebih luas dengan mendapatkan sertifikat MSC.

Pemaparan Materi oleh Intan Destianis Hartati Perwakilan dari Rekam Nusantara Foundation

Badan Riset dan Inovasi Nasional yang diwakili oleh Dr. M. Natsir pada kesempatan tersebut menyampaikan beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk pembangunan kembali stok ikan yang ada di Teluk Saleh. Pada pemaparannya, ada  3 langkah pengelolaan yang harus dilakukan, yaitu 1) Pengendalian Input, seperti menghilangkan penggunaan bahan peledak, bahan racun dan kompresor dalam praktik penangkapan ikan; ukuran mata jaring harus lebih dari 4 inchi untuk alat tangkap jaring insang (gill net); melarang penggunaan terumbu karang sebaga pemberat/penutup bubu. 2) Pengendalian Teknis, seperti pelarangan penangkapan ikan dan meningkatkan pengawasan di zona inti kawasan konservasi. 3) Pengendalian Output, seperti penerapan alokasi penangkapan ikan kerapu dan kakap di Teluk Saleh oleh Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat sesuai kewenangannya dan mempromosikan, mendorong, dan menganjurkan minimum legal size (MLS) atau ukuran minimum ikan kerapu-kakap yang boleh ditangkap di Teluk Saleh. Selain itu, Dr. Natsir juga menyampaikan skenario pengaturan apabila nilai SPR (Spawning Potential Ratio) kurang dari 20%.

Presentasi oleh Dr. M. Natsir dari BRIN

“Penerapan kuota penangkapan, pengurangan effort penangkapan, penutupan area penangkapan selama musim pemijahan, serta penerapan sanksi yang tegas bisa saja dilakukan apabila nilai SPR kurang dari 20%”, kata Dr. Natsir pada presentasinya.

TANGGAPAN NELAYAN

Mustamin, Nelayan dari Desa Hu’u Kabupaten Dompu menyatakan bahwa di Teluk Cempi masih banyak nelayan yang menggunakan bahan peledak dan racun untuk menangkap ikan. Nelayan biasanya menangkap ikan menggunakan bahan peledak dan racun, setelah ikan diatas kapal kemudian ikannya dipanah. Ini dilakukan untuk menghilangkan bukti penangkapan ikan dengan cara yang merusak.

Salah Satu Perwakilan Nelayan Memberikan Tanggapan pada Kegiatan Monitoring dan Evaluasi

Manan, Nelayan dari Labuhan Haji Kabupaten Lombok Timur juga menyatakan bahwa yang perlu diproses itu bukan panahnya, tapi alat bantu seperti bom dan racun yang dapat merusak sumber daya ikan. Manan juga menambahkan telah terdapat awig-awig yang telah disepakati oleh 7 (tujuh) desa di Kecamatan Labuhan haji. Nelayan perlu pemahaman jenis ikan dan alat tangkap apa saja yang diatur.

Deris dari Labuhan Sangoro menceritakan bahwa nelayan yang jauh dari pesisir biasanya akan menangkap ikan di daerah dangkal dan umumnya hasil tangkapan tidak terdata. Deris juga menyarankan agar tidak boleh menangkap ikan kurang dari 500 gram menggunakan semua jenis alat tangkap. Khawatirnya apabila alat tangkap yang dilarang secara spesifik, nelayan memiliki inovasi untuk memodifikasi alat yang digunakan.

Popular